Rabu, 30 Oktober 2013

MAKALAH FERTILITAS PENDUDUK


BAB I
PENDAHULUAN
Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari seseorang wanita atau sekelompok wanita. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup. Fekunditas, sebaliknya, merupakan potensi fisik untuk melahirkan anak. Jadi merupakan lawan arti kata sterilitas. Natalitas mempunyai arti sama dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk dan reproduksi manusia.
Istilah fertilitias sering disebut dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang wanita dengan adanya tanda-tanda kehidupan, seperti bernapas, berteriak, bergerak, jantung berdenyut dan lain sebagainya. Sedangkan paritas merupakan jumlah anak yang telah dipunyai oleh wanita. Apabila waktu lahir tidak ada tanda-tanda kehidupan, maka disebut dengan lahir mati (still live) yang di dalam demografi tidak dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Kemampuan fisiologis wanita untuk memberikan kelahiran atau berpartisipasi dalam reproduksi dikenal dengan istilah fekunditas. Tidak adanya kemampuan ini disebut infekunditas, sterilitas atau infertilitas fisiologis.
Pengetahuan yang cukup dapat dipercaya mengenai proporsi dari wanita yang tergolong subur dan tidak subur belum tersedia. Ada petunjuk bahwa di beberapa masyarakat yang dapat dikatakan semua wanita kawin dan ada tekanan sosial yang kuat terhadap wanita/ pasangan untuk mempunyai anak, hanya sekiat satu atau dua persen saja dari mereka yang telah menjalani perkawinan beberapa tahun tetapi tidak mempunyai anak. Seorang wanita dikatakan subur jika wanita tersebut pernah melahirkan paling sedikit seorang bayi.
Pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan dengan pengukuran mortalitas (kematian) karena seorang wanita hanya meninggal sekali, tetapi dapat melahirkan lebih dari seorang bayi. Kompleksnya pengukuran fertilitas ini karena kelahiran melibatkan dua orang (suami dan istri), sedangkan kematian hanya melibatkan satu orang saja (orang yang meninggal). Seseorang yang meninggal pada hari dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu orang tersebut tidak mempunyai resiko kematian lagi. Sebaliknya, seorang wanita yang telah melahirkan seorang anak, tidak berarti resiko melahirkan dari wanita tersebut menurun.


BAB II
PEMBAHASAN
 Pengukuran fertilitas memiliki dua macam pengukuran, yaitu pengukuran fertilitas tahunan dan pengukuran fertilitas kumulatif. Pengukuran fertilitas tahunan (vital rates) adalah mengukur jumlah kelahiran pada tahun tertentu yang dihubungkan dengan jumlah penduduk yang mempunyai resiko untuk melahirkan pada tahun tersebut. Sedangkan pengukuran fertilitas kumulatif adalah mengukur jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh seorang wanita hingga mengakhiri batas usia subur.
A.  Ukuran-ukuran Fertilitas Tahunan
1.    Tingkat Fertilitas Kasar (Crude Birth Rate)
Tingkat fertilitas kasar adalah banyaknya kelahiran hidup pada suatu tahun tertentu tiap 1.000 penduduk pada pertengahan tahun. Dalam ukuran CBR, jumlah kelahiran tidak dikaitkan secara langsung dengan penduduk wanita, melainkan dengan penduduk secara keseluruhan.

CBR = BPm x k

dimana:
CBR      = Tingkat Kelahiran Kasar
Pm    = Penduduk pertengahan tahun
k        = Bilangan konstan yang biasanya 1.000
B       = Jumlah kelahiran pada tahun tertentu

Adapun kelemahan dalam perhitungan CBR yakni tidak memisahkan penduduk laki-laki dan penduduk perempuan yang masih kanak-kanak dan yang berumur 50 tahun ke atas. Jadi angka yang dihasilkan  sangat kasar. Sedangkan  kelebihan dalam penggunaan ukuran CBR adalah perhitungan ini sederhana, karena hanya memerlukan keterangan tentang jumlah anak yang dilahirkan dan jumlah penduduk pada pertengahan tahun.

2.    Tingkat Fertilitas Umum (General Fertility Rate)        
Tingkat fertilitas umum mengandung pengertian sebagai jumlah kelahiran (lahir hidup) per 1.000 wanita usia produktif (15-49 tahun) pada tahun tertentu. Pada tingkat fertilitas kasar masih terlalu kasar karena membandingkan jumlah kelahiran dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Tetapi pada tingkat fertilitas umum ini pada penyebutnya sudah tidak menggunakan jumlah penduduk pada pertengahan tahun lagi, tetapi jumlah penduduk wanita pertengahan tahun umur 15-49 tahun.
GFR = BPf (15-49) x k

atau
GFR = Jumlah kelahiran pada tahun tertentuJumlah penduduk wanita umur 15-49 pada pertengahan tahun x k
dimana:
GFR           = Tingkat Fertilitas Umum
B                = Jumlah kelahiran
Pf (15-49)       = Jumlah penduduk wanita umur 15-49 tahun pada pertengahan tahun
k                 = Bilangan konstanta yang bernilai 1.000

Kelemahan dari penggunaan ukuran GFR adalah ukuran ini tidak membedakan kelompok umur, sehingga wanita yang berumur 40 tahun dianggap mempunyai resiko melahirkan yang sama besar dengan wanita yang berumur 25 tahun. Namun kelebihan dari penggunaan ukuran ini ialah ukuran ini cermat daripada CBR karena hanya memasukkan wanita yang berumur 15-49 tahun atau sebagai penduduk yang “exposed to risk”.


3.    Tingkat Fertilitas menurut Umur (Age Specific Fertility Rate)
Diantara kelompok wanita reproduksi (15-49 tahun) terdapat variasi kemampuan melahirkan, karena itu perlu dihitung tingkat fertilitas wanita pada tiap-tiap kelompok umur. Dengan mengetahui angka-angka ini dapat pula dilakukan perbandingan fertilitas antar penduduk dari daerah yang berbeda.

ASFRi = BiPfi x k

atau
ASFRi = Jumlah kelahiran bayi pada kelompok umur iJumlah wanita kelompok umur i pada pertengahan tahun  x k
dimana:
ASFRi   = Tingkat Fertilitas menurut Umur
Bi                               = Jumlah kelahiran bayi pada kelompok umur i
Pfi             = Jumlah wanita kelompok umur i pada pertengahan tahun
k            = Angka konstanta, yaitu 1.000


Berdasarkan dua kondisi di atas dapatlah disebutkan beberapa masalah (terkait dengan SDM) sebagai berikut :
1)   Jika fertilitas semakin meningkat maka akan menjadi beban pemerintah dalam hal penyediaan aspek fisik misalnya fasilitas kesehatan ketimbang aspek intelektual.
2)   Fertilitas meningkat maka pertumbuhan penduduk akan semakin meningkat tinggi akibatnya bagi suatu negara berkembang akan menunjukan korelasi negatif dengan tingkat kesejahteraan penduduknya.
3)   Jika ASFR 20-24 terus meningkat maka akan berdampak kepada investasi SDM yang semakin menurun.
Adapun kelebihan dari penggunaan ukuran ASFR antara lain :
a.    Ukuran lebih cermat dari GFR karena sudah membagi penduduk yang “exposed to risk” ke dalam berbagai kelompok umur.
b.    Dengan ASFR dimungkinkan pembuatan analisa perbedaan fertilitas (current fertility) menurut berbagai karakteristik wanita.
c.    Dengan ASFR dimungkinkan dilakukannya studi fertilitas menurut kohor.
d.   ASFR ini merupakan dasar untuk perhitungan ukuran fertilitas dan reproduksi selanjutnya (TFR, GRR, dan NRR).
Namun dalam pengukuran ASFR masih terdapat beberapa kelemahan diantaranya yaitu:
a.    Ukuran ini membutuhkan data yang terperinci yaitu banyaknya kelahiran untuk tiap kelompok umur sedangkan data tersebut belum tentu ada di tiap negara/daerah, terutama negara yang sedang berkembang. Jadi pada kenyataannya sukar sekali mendapatkan ukuran ASFR.
b.    Tidak menunjukkan ukuran fertilitas untuk keseluruhan wanita umur 15-49 tahun.
4.    Tingkat Fertilitas menurut Urutan Kelahiran (Birth Order Specific Fertility Rate)
Tingkat fertilitas menurut urutan kelahiran sangat penting untuk mengukur tinggi rendahnya fertilitas suatu negara. Kemungkinan seorang istri menambah kelahiran tergantung pada jumlah anak yang telah dilahirkannya. Seorang istri mungkin menggunakan alat kontrasepsi setelah mempunyai jumlah anak tertentu dan juga umur anak yang masih hidup.

BOSFR = Jumlah kelahiran urutan ke iJumlah wanita umur 15-49 pertengahan tahun
atau
BOFR=BoiPf(15-49) x k
dimana:
BOSFR                                                                                 = Tingkat Fertilitas menurut Urutan Kelahiran
Boi            = Jumlaha kelahiran urutan ke 1
Pf (15-49) = Jumlah wanita umur 15-49 pertengahan tahun
k            = Bilangan konstan bernilai 1.000
B.  Ukuran-ukuran Fertilitas dan Reproduksi secara Kumulatif
1.    Total Fertility Rate (TFR)
Tabel 1.1   Angka Fertilitas Total menurut Provinsi 1971, 1980, 1985, 1990,      
                  1991, 1994, 1998, dan 1999
Provinsi
1971
1980
1985
1990
1991
1994
1998
1999
Nanggroe Aceh Darussalam
6
5
4,79
4
3,76
3,3
2,78
2,69
Sumatera Utara
7
6
5
4
4,17
3,88
3,08
3
Sumatera Barat
6,18
6
5
4
3,6
3,19
2,94
2,87
R i a u
5,94
5
5
4
n.a
3,1
2,85
2,77
J a m b i
6,39
6
4,62
4
n.a
2,97
2,87
2,8
Sumatera Selatan
6
6
4,78
4
3,43
2,87
2,78
2,71
B e n g k u l u
7
6
5
4
n.a
3,45
2,83
2,77
L a m p u n g
6
5,75
5
4
3,2
3,45
2,74
2,66
DKI Jakarta
5
3,99
3,25
2
2,14
1,9
2
2
Jawa Barat
6
5
4
3
3
3,17
2,61
2,55
Jawa Tengah
5,33
4,37
3,82
3
2,85
2,77
2,41
2,37
DI Yogyakarta
5
3
2,93
2
2,04
1,79
2
2
Jawa Timur
4,72
4
3,2
2
2
2,22
2,02
2,02
B a l i
6
4
3,09
2
2
2,14
2
2
Nusa Tenggara Barat
7
6,49
6
5
3,82
3,64
3,12
3,05
Nusa Tenggara Timur
6
5,54
5,12
5
n.a
3,87
3,15
3,06
Kalimantan Barat
6
5,52
4,98
4
3,94
3,34
2,92
2,81
Kalimantan Tengah
7
5,87
5
4
n.a
2,31
2,86
2,81
Kalimantan Selatan
5
5
3,74
3
2,7
2,33
2,58
2,53
Kalimantan Timur
5
5
4,16
3
n.a
3,21
2,6
2,55
Sulawesi Utara
6,79
5
4
3
2,25
2,62
2,38
2,36
Sulawesi Tengah
6,53
5,9
5
4
n.a
3,08
2,78
2,72
Sulawesi Selatan
6
5
4
4
3,01
2,92
2,7
2,65
Sulawesi Tenggara
6
5,82
5,66
5
n.a
3,5
3
2,87
M a l u k u
7
6
5,61
5
n.a
3,7
2,92
2,82
Papua
7
5
5
5
n.a
3,15
3,03
2,96
INDONESIA
6
5
4
3
3
2,85
2,65
2,59
Sumber : Sensus Penduduk 1971, 1980, 1990 , Sensus Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1985 , Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1991 dan 1994

Total Fertility Rate/ TFR adalah rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita sampai akhir masa reproduksinya. Rumus perhitungan TFR yaitu sebagai berikut.
TFR=5ASFR x
Keterangan :
TFR       = Angka Fertilitas Total
ASFR    = Angka Fertilitas Menurut kelompok umur
X            = Kelompok umur
Kebaikannya :
Merupakan ukuran untuk seluruh wanita usia 15-49 tahun, yang dihitung berdasarkan angka kelahiran menurut kelompok umur.

2.    Gross Reproduction Rate/ GRR
Angka yang menunjukkan rata-rata jumlah anak perempuan yang dilahirkan oleh seorang wanita selama masa hidupnya, dengan mengikuti pola fertilitas dan mortalitas yang sama seperti ibunya. Dalam reit reproduksi kasar (GRR) tidak memperhitungkan unsur kematian. Rumus perhitungan GRR yakni sebagai berikut.
GRR=5ASFRfx       atau GRR=rasio jenis kelamin saat lahirx TFR
Keterangan :
GRR      = Angka Reproduksi Bruto
ASFR    = Angka Fertilitas menurut Kelompok Umur
X            = Kelompok umur
F                        = Penduduk perempuan
Kelemahannya :
Tidak memperhitungkan kemungkinan mati bayi wanita tersebut sebelum masa reproduksinya.


3.    Net Reproduction Rate/ NRR
Angka yang menunjukkan rata-rata jumlah anak perempuan yang dilahirkan oleh seorang wanita selama hidupnya dan akan tetap hidup sampai dapat menggantikan kedudukan ibunya, dengan mengikuti pola fertilitas dan mortalitas yang sama seperti ibunya. Ukuran reit reproduksi neto memperhitungkan pula unsur kematian. Adapun rumus perhitungannya sebagai berikut.
NRR=5x:15-1945-49ASFRnLxlx
Keterangan :
NRR      = Angka Reproduksi Neto
ASFR    = Angka Fertilitas menurut kelompok umur
X            = kelompok umur
F                        = penduduk perempuan
nLxlx          = rasio masih hidup sejak lahir hingga umur x


4.    Child Woman Rate/ CWR
Perbandingan antara jumlah anak dibawah umur 5 tahun dengan wanita usia reproduksi. Adapun rumus perhitungan CWR sebagai berikut.
CWR= P0-4P f(15-49) x k 
Keterangan :
P0-4= Jumlah anak dibawah usia 5 tahun
Pf(15-49) = banyaknya wanita umur 15-49 tahun
Kelebihan pengukuran CWR adalah tidak usah membuat pertanyaan khusus untuk mendapatkan data yang diperlukan, dan pengukuran ini berguna untuk indikasi fertilitas di daerah kecil sebab di negara yang registrasinya cukup baik pun, statistik kelahiran tidak ditabulasikan untuk daerah yang kecil-kecil.
Kelemahannya yakni langsung dipengaruhi oleh kekurangan pelaporan tentang anak, yang sering terjadi di negara sedang berkembang. Walaupun kekurangan pelaporan juga terjadi di kelompok ibunya namun secara relatif kekurangan pelaporan pada anak-anak jauh lebih besar. Selain itu juga dipengaruhi oleh tingkat mortalitas, di mana tingkat mortalitas anakm khususnya di bawah 1 tahun juga lebih besar dari orang tua, sehingga CWR selalu lebih kecil daripada tingkat fertilitas yang seharusnya dan CWR tidak memperhitungkan distribusi umur dari penduduk wanita.

C.  Faktor-faktor yang Mempengaruhi dan Menentukan Fertilitas
Ada beragam faktor yang mempengaruhi dan menentukan fertilitas baik yang berupa faktor demografi maupun faktor non-demografi. Yang berupa faktor demografi diantaranya adalah struktur umur, umur perkawinan, lama perkawinan, paritas, distrupsi perkawinan dan proporsi yang kawin sedangkan faktor non-demografi dapat berupa faktor sosial, ekonomi maupun psikologi.

1.    Teori Sosiologi tentang Fertilitas (Davis dan Blake: Variabel Antara)
Kajian tentang fertilitas pada dasarnya bermula dari disiplin sosiologi. Sebelum disiplin lain membahas secara sistematis tentang fertilitas, kajian sosiologis tentang fertilitas sudah lebih dahulu dimulai. Sudah amat lama kependudukan menjadi salah satu sub-bidang sosiologi. Sebagian besar analisa kependudukan (selain demografi formal) sesungguhnya merupakan analisis sosiologis. Davis and Blake (1956), Freedman (1962), Hawthorne (1970) telah mengembangkan berbagai kerangka teoritis tentang perilaku fertilitas yang pada hakekatnya bersifat sosiologis.

Dalam tulisannya yang berjudul “The Social structure and fertility: an analytic framework (1956)”2 Kingsley Davis dan Judith Blake melakukan analisis sosiologis tentang fertilitas. Davis and Blake mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas melalui apa yang disebut sebagai “variabel antara” (intermediate variables).

Menurut Davis dan Blake faktor-faktor sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi fertilitas akan melalui “variabel antara”. Ada 11 variabel antara yang mempengaruhi fertilitas, yang masing-masing dikelompokkan dalam tiga tahap proses reproduksi sebagai berikut:


Intermediate variables of fertility
a.    Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan kelamin (intercouse variables):
Ø Faktor-faktor yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin:
1)   Umur mulai hubungan kelamin
2)   Selibat permanen: proporsi wanita yang tidak pernah mengadakan hubungan kelamin
3)   Lamanya masa reproduksi sesudah atau diantara masa hubangan kelamin:
                                                i.     Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah
                                              ii.     Bila kehidupan suami istri nerakhir karena suami meninggal dunia
Ø Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin
4)   Abstinensi sukarela
5)   Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara)
6)   Frekuensi hubungan seksual
b.    Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception variables):
7)   Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak disengaja
8)   Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi:

                                                i.     Menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia
                                              ii.     Menggunakan cara-cara lain
9)        Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)
c.    Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation variables)
10)    Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tidak disengaja
11)    Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja
Menurut Davis dan Blake, setiap variabel diatas terdapat pada semua masyarakat.Sebab masing-masing variabel memiliki pengaruh (nilai) positif dan negatifnya sendiri-sendiri terhadap fertilitas. Misalnya, jika pengguguran tidak dipraktekan maka variabel nomor 11 tersebut bernilai positif terhadap fertilitas. Artinya, fertilitas dapat meningkat karena tidak ada pengguguran. Dengan demikian ketidak-adaan variabel tersebut juga suatu masyarakat masing-masing variabel bernilai negatif atau positif maka angka kelahiran yang sebenarnya tergantung kepada neraca netto dari nilai semua variabel.
2.    Ronald Freedman: Variabel Antara dan Norma Sosial
Menurut Freedman variabel antara yang mempengaruhi langsung terhadap fertilitas pada dasarnya juga dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku di suatu masyarakat. Pada akhirnya perilaku fertilitas seseorang dipengaruhi norma-norma yang ada yaitu norma tentang besarnya keluarga dan norma tentang variabel antara itu sendiri. Selanjutnya norma-norma tentang besarnya keluarga dan variabel antara di pengaruhi oleh tingkat mortalitas dan struktur sosial ekonomi yang ada di masyarakat.
Menurut Freedman intermediate variables yang dikemukakan Davis-Blake menjadi variabel antara yang menghubungkan antara “norma-norma fertilitas” yang sudah mapan diterima masyarakat dengan jumlah anak yang dimiliki (outcome). Ia mengemukakan bahwa “norma fertilitas” yang sudah mapan diterima oleh masyarakat dapat sesuai dengan fertilitas yang dinginkan seseorang. Selain itu, norma sosial dianggap sebagai faktor yang dominan. Secara umum Freedman mengatakan bahwa:

“Salah satu prinsip dasar sosiologi adalah bahwa bila para anggota suatu masyarakat menghadapi suatu masalah umum yang timbul berkali-kali dan membawa konsekuensi sosial yang penting, mereka cenderung menciptakan suatu cara penyelesaian normatif terhadap masalah tersebut. Cara penyelesaian ini merupakan serangkaian aturan tentang bertingkah laku dalam suatu situasi tertentu, menjadi sebagian dari kebudayaannya dan masyarakat mengindoktrinasikan kepada para anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan norma tersebut baik melalui ganjaran (rewards) maupun hukuman (penalty) yang implisit dan eksplisit. ... Karena jumlah anak yang akan dimiliki oleh sepasang suami isteri itu merupakan masalah yang sangat universal dan penting bagi setiap masyarakat, maka akan terdapat suatu penyimpangan sosiologis apabila tidak diciptakan budaya penyelesaian yang normatif untuk mengatasi masalah ini”

Jadi norma merupakan “resep” untuk membimbing serangkaian tingkah laku tertentu pada berbagai situasi yang sama. Norma merupakan unsur kunci dalam teori sosiologi tentang fertilitas. Dalam artikelnya yang berjudul “Theories of fertility decline: a reappraisal” (1979).
Freedman juga mengemukakan bahwa tingkat fertilitas yang cenderung terus menurun di beberapa negara pada dasarnya bukan semata-mata akibat variabel-variabel pembangunan makro seperti urbanisasi dan industrialisasi sebagaimana dikemukakan oleh model transisi demografi klasik tetapi berubahnya motivasi fertilitas akibat bertambahnya penduduk yang melek huruf serta berkembangnya jaringan-jaringan komunikasi dan transportasi.
Menurut Freedman, tingginya tingkat modernisasi tipe Barat bukan merupakan syarat yang penting terjadinya penurunan fertilitas. Pernyataan yang paling ekstrim dari suatu teori sosiologi tentang fertilitas sudah dikemukakan oleh Judith Blake. Ia berpendapat bahwa “masalah ekonomi adalah masalah sekunder bukan masalah normatif”; jika kaum miskin mempunyai anak lebih banyak daripada kaum kaya, hal ini disebabkan karena kaum miskin lebih kuat dipengaruhi oleh norma-norma pro-natalis daripada kaum kaya.
3.    Teori Ekonomi tentang Fertilitas
Pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama dari teori ‘transisi demografis’ yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan dengan diadakannya pembangunan sosial-ekonomi, maka fertilitas lebih merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis.
Berbagai metode pengendalian fertilitas seperti penundaan perkawinan, senggama terputus dan kontrasepsi dapat digunakan oleh pasangan suami istri yang tidak menginginkan mempunyai keluarga besar, dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti memikul beban ekonomis dan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan material. Bahkan sejak awal pertengahan abad ini, sudah diterima secara umum bahwa hal inilah yang menyebabkan penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara dalam abad 19. Leibenstein dapat dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang dikenal dengan “teori ekonomi tentang fertilitas”. Menurut Leibenstein tujuan teori ekonomi fertilitas adalah:
“untuk merumuskan suatu teori yang menjelaskan faktor-faktor yang menentukan jumlah kelahiran anak yang dinginkan per keluarga. Tentunya, besarnya juga tergantung pada berapa banyak kelahiran yang dapat bertahan hidup (survive). Tekanan yang utama adalah bahwa cara bertingkah laku itu sesuai dengan yang dikehendaki apabila orang melaksanakan perhitungan-perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran anak yang dinginkannya. Dan perhitungan perhitungan yang demikian ini tergantung pada keseimbangan antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan kelahiran anak, baik berupa uang maupun psikis. Ada tiga macam tipe kegunaan yaitu (a) kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu ‘barang konsumsi’ misalnya sebagai sumber hiburan bagi orang tua; (b) kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni, dalam beberapa hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan menambah pendapatan keluarga; dan (c) kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman, baik pada hari tua maupun sebaliknya”.
Menurut Leibenstein anak dilihat dari dua aspek yaitu aspek kegunaannya (utility) dan aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah biaya dari mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan seoarang anak dapat dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Yang dimaksud biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan dalam memelihara anak seperti memenuhi kebutuhan sandang dan pangan anak sampai ia dapat berdiri sendiri. Yang dimaksud biaya tidak langsung adalah kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seoarang anak. Misalnya, seoarang ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak, kehilangan penghasilan selama masa hamil, atau berkurangnya mobilitas orang tua yang mempunyai tanggungan keluarga besar (Leibenstein, 1958).
Menurut Leibenstein, apabila ada kenaikan pendapatan maka aspirasi orang tua akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biayanya naik. Pengembangan lebih lanjut tentang ekonomi fertiitas dilakukan oleh Gary S. Becker dengan artikelnya yang cukup terkenal yaitu “An Economic Analysis of Fertility”.
Menurut Becker anak dari sisi ekonomi pada dasarnya dapat dianggap sebagai barang konsumsi (a consumption good, consumer’s durable) yang memberikan suatu kepuasan (utility) tertentu bagi orang tua. Bagi banyak orang tua, anak merupakan sumber pendapatan dan kepuasan (satisfaction). Secara ekonomi fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, biaya memiliki anak dan selera. Meningkatnya pendapatan (income) dapat meningkatkan permintaan terhadap anak.
Karya Becker kemudian berkembang terus antara lain dengan terbitanya buku A Treatise on the Family. Perkembangan selanjutnya analisis ekonomi fertilitas tersebut kemudian membentuk teori baru yang disebut sebagai ekonomi rumah tangga (household economics). Analisis ekonomi fertilitas yang dilakukan oleh Becker kemudian diikuti pula oleh beberapa ahli lain seperti Paul T. Schultz, Mark Nerlove, Robert J. Willis dan sebagainya. Dalam tulisannya yang berjudul Economic growth and population: Perspective of the new home economics6 Nerlove mengemukakan:
“Ekonomi rumah tangga terdiri dari empat unsur utama, yaitu (a) suatu fungsi kegunaan. Yang dimaksud kegunaan disini bukanlah dalam arti komoditi fisik melainkan berbagai kepuasan yang dihasilkan rumah tangga; (b) suatu teknologi produksi rumah tangga; (c) suatu lingkungan pasar tenaga kerja yang menyediakan sarana untuk merubah sumber-sumber daya rumah tangga menjadi komoditi pasar; dan (d) sejumlah keterbatasan sumber-sumber daya rumah tangga yang terdiri dari harta warisan dan waktu yang tersedia bagi setiap anggota rumah tangga untuk melakukan produksi rumah tangga dan kegiatankegiatan pasar. Waktu yang tersedia dapat berbeda-beda kualitasnya, dan dalam hal ini tentunya termasuk juga sumberdaya manusia (human capital) yang diwariskan dan investasi sumberdaya manusia dilakukan oleh suatu generasi baik untuk kepentingan tingkah laku generasi-generasi yang akan datang maupun untuk kepentingan tingkah laku sendiri”
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak berkurang bila pendapatan meningkat; yakni apa yang menyebabkan harga pelayanan anak berkaitan dengan pelayanan komoditi lainnya meningkat jika pendapatan meningkat?
New household economics berpendapat bahwa (a) orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam jumlah yang hanya sedikit sehingga “harga beli” meningkat; (b) bila pendapatan dan pendidikan meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal.
Di dalam setiap kasus, semua pendekatan ekonomi melihat fertilitas sebagai hasil dari suatu keputusan rasional yang didasarkan atas usaha untuk memaksimalkan fungsi utility ekonomis yang cukup rumit yang tergantung pada biaya langsung dan tidak langsung, keterbatasan sumberdaya, selera. Topik-topik yang dibahas dalam ekonomi fertilitas antara berkaitan dengan pilihan-pilihan ekonomi seseorang dalam menentukan fertilitas (jumlah dan kualitas anak). Pertimbangan ekonomi dalam menentukan fertilitas terkait dengan income, biaya (langsung maupun tidak langsung), selera, modernisasi dan sebagainya.
Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan Becker, Bulato menulis tentang konsep demand for children and supply of children. Konsep demand for children dan supply of children dikemukakan dalam kaitan menganalisis economic determinan factors dari fertilitas. Bulatao mengartikan konsep demand for children sebagai jumlah anak yang dinginkan. Termasuk dalam pengertian jumlah adalah jenis kelamin anak, kualitas, waktu memliki anak dan sebagainya.
Konsep demand for children diukur melalui pertanyaan survey tentang “jumlah keluarga yang ideal atau diharapkan atau diinginkan”. Pertanyaannya, apakah konsep demand for children berlaku di negara berkembang. Apakah pasangan di negara berkembang dapat memformulasikan jumlah anak yang dinginkan? Menurut Bulato, jika pasangan tidak dapat memformulasikan jumlah anak yang dinginkan secara tegas maka digunakan konsep latent demand dimana jumlah anak yang dinginkan akan disebut oleh pasangan ketika mereka ditanya.
Menurut Bulatao, modernisasi berpengaruh terhadap demand for children dalam kaitan membuat latent demand menjadi efektif. Menurut Bulatao, demand for children dipengaruhi (determined) oleh berbagai faktor seperti biaya anak, pendapatan keluarga dan selera. Dalam artikel tersebut Bulato membahas masing-masing faktor tersebut (biaya anak, pendapatan, selera) secara lebih detail. Termasuk didalamnya dibahas apakah anak bagi keluarga di negara berkembang merupakan “net supplier “ atau tidak. Sedang supply of children diartikan sebagai banyaknya anak yang bertahan hidup dari suatu pasangan jika mereka tidak berpisah/cerai pada suatu batas tertentu. Supply tergantung pada banyaknya kelahiran dan kesempatan untuk bertahan hidup. Supply of children berkaitan dengan konsep kelahiran alami (natural fertility).
Menurut Bongart dan Menken fertilitas alami dapat diidentifikasi melalui lima hal utama, yaitu:
a. Ketidak-suburan setelah melahirkan (postpartum infecundibality)
b. Waktu menunggu untuk konsepsi (waiting time to conception)
c. Kematian dalam kandungan (intraurine mortality)
d. Sterilisasi permanen (permanent sterility)
e. Memasuki masa reproduksi (entry into reproductive span)
Analisis ekonomi tentang fertilitas juga dikemukakan oleh Richard A. Easterlin. Menurut Easterlin permintaan akan anak sebagian ditentukan oleh karakteristik latar belakang individu seperti agama, pendidikan, tempat tinggal, jenis/tipe keluarga dan sebagainya. Setiap keluarga mempunyai norma-norma dan sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh karakteristik diatas. Easterlin juga mengemukakan perlunya menambah seperangkat determinan ketiga (disamping dua determinan lainnya: permintaan anak dan biaya regulasi fertilitas) yaitu mengenai pembentukan kemampuan potensial dari anak. Hal ini pada gilirannya tergantung pada fertilitas alami (natural fertility) dan kemungkinan seorang bayi dapat tetap hidup hingga dewasa.
Fertilitas alami sebagian tergantung pada faktor-faktor fisiologis atau biologis, dan sebagian lainnya tergantung pada praktek-praktek budaya. Apabila pendapatan meningkat maka terjadilah perubahan “suplai” anak karena perbaikan gizi, kesehatan dan faktor-faktor biologis lainnya. Demikian pula perubahan permintaan disebabkan oleh perubahan pendapatan, harga dan “selera”. Pada suatu saat tertentu, kemampuan suplai dalam suatu masyarakat bisa melebihi permintaan atau sebaliknya.
Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara berpendapatan rendah permintaan mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah, karena terdapat pengekangan biologis terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan suatu permintaan “berlebihan” (excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah besar orang yang benar-benar tidak menjalankan praktek-praktek pembatasan keluarga. Di pihak lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan adalah rendah sedangkan kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai “berlebihan” (over supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana. John C. Caldwell juga melakukan analisis fertilitas dengan pendekatan ekonomi sosiologis.
Tesis fundamentalnya adalah bahwa tingkah laku fertilitas dalam masyarakat pra-tradisional dan pasca-transisional itu dilihat dari segi ekonomi bersifat rasional dalam kaitannya dengan tujuan ekonomi yang telah ditetapkan dalam masyarakat, dan dalam arti luas dipengaruhi juga oleh faktor-faktor biologis dan psikologis.
Teori Caldwell menekankan pada pentingnya peranan keluarga dalam arus kekayaan netto (net wealth flows) antar generasi dan juga perbedaan yang tajam pada regim demografis pra-transisi dan pasca-transisi. Caldwell mengatakan bahwa “sifat hubungan ekonomi dalam keluarga” menentukan kestabilan atau ketidak-stabilan penduduk. Jadi pendekatannya lebih menekankan pada dikenakannya tingkah laku fertilitas terhadap individu (atau keluarga inti) oleh suatu kelompok keluarga yang lebih besar (bahkan yang tidak sedaerah) dari pada oleh “norma-norma” yang sudah diterima masyarakat. Seperti diamati oleh Caldwell, didalam keluarga selalu terdapat tingkat eksploitasi yang besar oleh suatu kelompok (atau generasi) terhadap kelompok atau generasi lainnya, sehingga jarang dilakukan usaha pemaksimalan manfaat individu. Selain teori yang disajikan dalam tulisan ini masih banyak teori lain yang membahas fertilitas. Namun karena keterbatasan tempat tidak semua teori fertilitas dapat disajikan dalam tulisan ini.



DAFTAR PUSTAKA
Becker, Gary S., “An Economic Analysis of Fertility” dalam Becker, Gary S., The Economic Approach to Human Behaviour, The University of Chicago, 1976, pp. 171-194
Becker, Gary S., A Treatise on the Family, Harvard University Press, London, England, 1981
Davis, Kingsley & Judith Blake, Struktur Sosial dan Fertilitas (Social structure and fertility: an analytical framework), Lembaga Kependudukan UGM, Yogyakarta, 1974
Freedman, Ronald, “Theories of fertility decline: a reappraisal” in Philip M. Hauser (ed.), World
Lee, Ronald D. & Rodolfo A. Bulatao, “The Demand for Children: A Critical Essay” dalam Bulatao & Lee (Ed.), Determinants of Fertility in Developing Countries Volume 1 Supply and Demand for Children, Academic Press, 1983, London
Hatmadji, Sri Harjati. 2004. Dasar-dasar Demografi. Edisi 2004. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi UI Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta
Ida Bagoes Mantra. 2009. Demografi Umum. Edisi kedua. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Nerlove, Mark, Economic growth and population: Perspective of the new home economics, Agricultural Development Council, Inc, ADC Reprint Series, 1974 dikutip dari Robinson & Harbison, Ibid, p.4
Population and development, Syracuse University Press, New York, 1979.
Said Rusli. 1986. Pengantar Ilmu Kependudukan. LP3ES
Sri Rahayu Sanusi,SKM,Mkes. Masalah Kependudukan Di Negara Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera Utara
Robinson, Warren C. & Sarah F. Harbison, Menuju Teori Fertilitas Terpadu (Toward a unified theory of fertility), Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM, Yogyakarta, 1983


Tidak ada komentar:

Posting Komentar